Dalam tubuh Nahdlatul Ulama (NU), setiap posisi, sekecil apapun,
bukanlah sekadar jabatan administratif, melainkan sebuah amanah. Menjadi
pengurus NU, baik di tingkat pusat, wilayah, cabang, maupun ranting,
tidak pernah dipahami semata sebagai kedudukan, melainkan sebagai
khidmat. Seorang Nahdliyyin yang diberikan kepercayaan untuk terlibat
dalam struktur organisasi NU sejatinya tengah menerima anugerah yang
besar. Anugerah itu bukan berupa kehormatan duniawi, melainkan sebuah
kesempatan untuk ikut serta menyalurkan tenaga, pikiran, bahkan doa
untuk ikut serta dalam menjaga kelestarian ajaran Ahlussunnah wal
Jama’ah dan berkontribusi bagi kemaslahatan umat serta bangsa.Kebesaran NU tidak hanya terletak pada tokoh-tokoh besar atau keputusan dari pucuk pimpinan, melainkan pada jutaan warga Nahdliyyin dan jutaan pengurus dan mantan pengurus yang ikhlas menjaga ranting-ranting hingga cabang-cabangnya. Di situlah ruh NU berdenyut, tumbuh, dan hidup. Maka, menjadi pengurus NU meski hanya di level anggota adalah kebanggaan tersendiri. Dari situlah lahir kesempatan untuk menyambung sanad khidmat kepada para muassis dan ulama, menjadi perpanjangan tangan umat di akar rumput, serta meneruskan tradisi pengabdian yang menjadikan NU bukan sekadar organisasi, tetapi keluarga besar yang mengayomi.
Khusus di lingkungan Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) NU, keterlibatan dalam kepengurusan memiliki nilai yang lebih mendalam. RMI adalah lembaga yang secara langsung menaungi seluruh pondok pesantren NU, sementara pesantren adalah marwah NU itu sendiri. Dari pesantrenlah lahir kultural NU, tradisi keilmuan, sanad keilmuan, amaliyah, serta nilai-nilai Ahlussunnah wal Jama’ah yang kemudian tumbuh dan menyebar ke seluruh penjuru negeri, bahkan hingga ke berbagai belahan dunia. Dengan demikian, berkhidmat di RMI berarti ikut menjaga jantung NU, menjaga marwah pesantren, serta memastikan ruh keilmuan dan kultural NU tetap hidup dan berkembang.
Menjadi pengurus Lembaga RMI NU misalnya dengan peran sekecil apapun sejatinya adalah suatu kehormatan, sebab di sanalah seseorang berkesempatan menjadi garda penjaga pesantren, menyambung tradisi ulama, dan membesarkan NU melalui jalur pendidikan pesantren. Keterlibatan itu bukan hanya sekadar menjalankan program, melainkan wujud penghormatan kepada para muassis NU yang sebagian besar adalah para kiai pesantren. Maka, seorang pengurus RMI sejatinya sedang berdiri di mata rantai panjang perjuangan ulama, menjadi bagian dari gerakan yang terus menyalakan cahaya ilmu dan akhlak.
Sekecil apapun peran yang diemban, bila dijalankan dengan ketulusan niat dan keikhlasan hati, insyallah ia dapat bernilai agung di hadapan Allah. Seorang pengurus NU sejatinya adalah pelayan umat. Ia tidak sedang membesarkan dirinya, tetapi membesarkan khidmat. Ia tidak sedang mengejar kemuliaan dunia, tetapi menanam amal yang semoga kelak akan dipetik hasilnya di akhirat.
Menjadi Nahdliyyin adalah anugerah. Dan dipercaya menjadi pengurus, meski hanya di tingkat ranting atau sekedar anggota NU, adalah kehormatan sekaligus tanggung jawab mulia. Terlebih bagi mereka yang berkhidmat di RMI NU, “kebanggaan” itu bisa berlipat, karena bukan hanya mengabdi kepada NU, tetapi juga kepada pesantren, rumah besar yang menjadi sumber lahirnya NU. Dari pesantren, NU lahir. Dari pesantren, NU hidup. Dan bersama pesantren, NU akan terus menyebarkan cahaya Islam rahmatan lil ‘alamin, membawa keteduhan, kesejukan, dan keberkahan bagi bangsa dan umat manusia. Wallahu a’lam bisshowab.
sumber : https://rminubanten.or.id/menjadi-pengurus-nu-antara-amanah-nikmat-khidmat-dan-mozaik-perjuangan/


0 Komentar